_________________________________________________________________________________
Menuai Kritik dan Protes
Protes warga Papua
Pemerintah daerah Kabupaten Pegunungan Bintang bersama ribuan warga sipil kompak menolak bergabung dengan Provinsi Papua Pegunungan. Ketua Harian Dewan Adat Pegunungan Bintang, Demianus Uropmabin mengatakan Pegunungan Bintang selama ini tidak pernah dilibatkan dalam rencana pembentukan kabupaten induk di Papua oleh Pemerintah Kabupaten Jayawijaya sejak beberapa tahun lalu. Mereka menilai pemekaran provinsi Pegunungan Tengah dikhawatirkan bakal menambah diskriminasi terhadap warga Pegunungan Bintang. Demianus mengancam bakal memboyong seluruh masyarakatnya bergabung dengan negara Papua Nugini jika pemerintah terus memaksa memasukkan Kabupaten Pegunungan Bintang ke provinsi baru.
Kritik Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua
Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, juga mengkritik rencana pembentukan provinsi baru di Papua. Dia menilai hal ini tak akan menyelesaikan akar persoalan konflik bersenjata di Papua. Jika serius menghendaki perdamaian di tanah Papua, semestinya pemerintah mengajak kelompok yang selama ini berseberangan berdialog, terutama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka.
Kritik Amnesty International
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritik pengesahan tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru atau RUU DOB Papua pada hari ini. Sebab, pengesahan dilakukan setelah pemerintah dan DPR mencabut kewajiban persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD) atas pemekaran. “Ini sebenarnya dilakukan melalui penyelundupan hukum,” kata Usman Hamid dalam konferensi pers, Kamis, 30 Juni 2022.
_________________________________________________________________________________
Pengesahan diputuskan melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang dihelat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (30/6/2022).
Dengan disahkannya 3 RUU ini, Papua resmi akan dimekarkan menjadi 3 provinsi yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Tak hanya prosesnya yang cepat, pembahasan RUU pemekaran Papua dinilai tidak partisipatif karena dilakukan secara sepihak oleh pembuat undang-undang di pusat. Padahal, berlaku Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Dalam UU itu disebutkan bahwa pemekaran wilayah di Papua hanya dapat dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara yang atas amanat otonomi khusus menjadi representasi kultural orang asli Papua (OAP).
Namun, dalam perjalanannya, UU Otsus itu sempat direvisi pada 2008 dan 2021. Salah satu aturan yang direvisi adalah bahwa selain atas persetujuan MRP, pemekaran wilayah di Papua dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Kendati begitu, tiga RUU pemekaran Papua telah disahkan menjadi undang-undang.
Mengacu Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU yang disahkan DPR memerlukan tanda tangan presiden sebelum dicatatkan dalam Lembaran Negara dan diberi nomor UU.
Namun, seandainya presiden tak menandatangani, UU itu akan tetap berlaku 30 hari pascapengesahan di DPR. Dengan ketentuan tersebut, tiga UU pemekaran Papua akan resmi berlaku paling lambat pada 30 Juli 2022. Dengan demikian, Indonesia akan segera memiliki 3 provinsi baru sehingga total 37 provinsi.
Berikut rincian 3 provinsi baru hasil pemekaran provinsi Papua beserta ibu kota provinsinya:
1. Papua Selatan
Kabupaten Merauke (berkedudukan sebagai ibu kota)
Kabupaten Mappi
Kabupaten Asmat
Kabupaten Boven Digoel
2. Papua Tengah
Kabupaten Nabire (berkedudukan sebagai ibu kota)
Kabupaten Paniai
Kabupaten Mimika
Kabupaten Dogiyai
Kabupaten Deyiai
Kabupaten Intan Jaya
Kabupaten Puncak
Kabupaten Puncak Jaya
3. Provinsi Papua Pegunungan
Kabupaten Jayawijaya (berkedudukan sebagai ibu kota)
Kabupaten Lanny Jaya
Kabupaten Mamberamo Tengah
Kabupaten Nduga
Kabupaten Tolikara
Kabupaten Yahukimo
Kabupaten Yalimo
Kabupaten Pegunungan Bintang